Skip to main content

Nanang Suryadi: Arthur Rimbaud Nusantara!

Nanang Suryadi: Arthur Rimbaud Nusantara!

Oleh: A. Kohar Ibrahim

Di tengah malam sunyi sepi timbul kegairahan, sekalipun di luar langit hitam kelabu keputihan cahaya bumi berselimut salju. Dingin sekali. Selagi dimamah rindu pada Srikandi penggenggam pena di Nusantara, membuka jendela kaca ordina, kudapati sepucuk surat elektronika berisi undangan yang segera menghangati pikiran dan hati.

Maka aku sambut senang undangan itu, apalagi yang datang dari seorang penyair bernama Nanang Suryadi. Untuk menikmati sajiannya berupa kumpulan puisi (kupuisi) berjudul Telah Dialamatkan padamu terbitan Dewata Publishing akhir tahun lalu.

Kupuisi yang sampulnya indah berupa komposisi paduan yang kontras clear-obscur (gelap-terang), lembut tegar, berat ringan itu memang membikin orang seperti saya segera merasa tergelitik. Senang dalam menikmatinya. Dari bagian pertama sampai yang akhir. Suatu paduan yang hamornis lagi logis isinya aneka ragam warna dengan segala nuansa perasaan dan pemikiran.

Betapa tidak. Tiap kata yang dikomposisi bagi judul buku itu sendiri adalah berupa pertanda dari tiap rangkuman kreasi puisinya. Sepintas kilas, terkesan seperti seenaknya saja Nanang mengkomposisi kata demi kata sedemikian rupa, hingga saya pun merasa keenakan menyimaknya. Langsung sekaligus simpatik menggugah: Telah dialamatkan padamu. Konkretnya, dan selengkapnya rangkuman-rangkuman itu adalah sebagai berikut:

(1) "Telah" : rangkuman terdiri dari 21 sajak. Salah satunya berjudul “Harap”:

Nasib siapa dipikul naik turun lereng terjal gunung berbatu / Tak ada serapah, hanya ketabahan pada terik

Angin yang panas dan debu hantarkan berita: / Di negeri kemarau, hujan adalah mimpi belaka

Tapi desir yang sampai pada telinga, mungkin bisikmu: / Sebuah harap, bukan hanya mimpi, mungkin laksana suatu ketika

Seperti kubaca mendung di matamu


(2) "Dialamatkan" : rangkuman terdiri dari 19 sajak. Salah satunya berjudul “Kau Tunggu”:

sebuah berita kau tunggu, dari rimba / mungkin pekik hewan, dengus angin, terkirim / ke dalam kamarmu yang hangat,

kau tetap menunggu, secarik kertas kumal / bertuliskan: jaga dirimu, sayang

begitulah, pada jarak, kau mengetahui / arti cinta dan kasih sayang

dengan harap dan kecemasan, kau tunggu / berita itu / selalu



(3) "Padamu" : rangkuman terdiri dari 24 sajak. Salah satunya berjudul “Perempuan Pagi Berwajah Puisi”:

aku merindukanmu, katamu, pada pagi di mana puisi meronta meluncur / mendesak menghancur melumat memabukanku. dengan terbata kubaca sepi / di wajahmu yang puisi. o, ribuan cahaya, berangkat dari pelupuk mata.

aku merindukanmu, katamu, seperti sepi yang menikam menghujam / menyayat menyadap semuruh tubuh. o, ribuan duka, berangkat dari pelupuk mata.

aku merindukanmu, katamu, pada hari yang senyap, tak ada bunyi / memecah dinihari, pagi di mana gelisahku sampai pada wajahmu. puisi



(4) "Sunyi" : rangkuman terdiri dari 16 sajak. Salah satunya berjudul “Tik Tak Tik Tak : 01.05”:

kau adalah keheningan pada malam aku berangkat ke dalam relung-relung sunyiku seperti kau biarkan aku dalam tanyaku sendiri. diam

adalah embun yang meluncur butir demi butir ke dalam sukma yang pedih ke dalam mulut haus. kau

sebatang pohon yang sedih dan berkibaran dalam udara kabarkan cerita itu dari rongga dadamu. ketulusan

air mata begitu cucur menumpah basah di sekujur riwayat manusia serunya. tubuh

kau gigil menatap arah tak tentu angin berputar cuaca bergantian arah tuju. aku

rindukan saja kenangan itu tapi jangan datang serupa jam berdebu buku menguning album. rebutlah

segala mimpi



(5) "Lelaki" : rangkuman terdiri dari 18 sajak. Salah satunya berjudul “Aku Adalah”:

aku adalah airmata / menetes begitu deras

aku adalah tarian / gelombang lautan

pada sembab mata / pada getar bibir

aku adalah gemericik air / hulu sungai

pada asin lidah / pada lapang hati

aku adalah tembang / menzikirkan nama kekasih

duh, begitu rindu



Dengan tambahan sebuah sajak, kupuisi itu seluruhnya merangkum 99 judul sajak. Memang enak disimak enak dilacak. Lembutnya seperti sepiring nasi putih, gurihnya seperti ikan lele, sedapnya seperti sambel ulek, sayur lodeh, segarnya seperti karodek, garingnya seperti kerupuk udang; nikmatnya seperti kopi es; harumnya seperti mawar seperti melati.

Kesan lainnya yang menyenangkan terletak pada gaya penuangan isinya yang enak-enak-an saja membikin saya keenakan juga. Seperti udara bebas beredar merdeka. Seperti air mengalir dari kali ke muara hingga laut bebas lepas. Mendasar. Mendalam. Meluas. Meninggi. Selagi mengingat keluhur-agungan Ilahi ataupun selagi merindukan sang kekasihi.

Semua puisi yang tersajikan ringkas-ringkas nyaris ada yang kepanjangan. Namun terasa sekali, betapa hebat dan kuatnya bahasa Indonesia—terutama penggunaan perbendaharaan kata-kata yang begitu kaya dan plastis—yang dikuasai seorang penyair macam Nanang yang blasteran Sunda-Jawa itu!

Sepertinya, bagi Nanang, hal-ihwal apa saja yang menarik hatinya bisa digubah dengan mudah menjadi sajak. Apa rahasianya?

"Menulis sajak bagiku menjadi semacam catatan bagi sejumlah pengalaman puitik," demikian antara lain pengakuan Nanang seperti diutarakan di layar kaca situsnya.

Selain itu? Apa lagi rahasianya yang penting?

"Sejak kecil," Nanang mengaku dalam suatu penuturan proses kreativitasnya sebagai sastrawan, "sejak aku dapat membaca buku dengan baik, mungkin kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar, aku membaca banyak buku-buku cerita kanak, majalah-majalah, koran yang ada di rumahku. Aku kira kebiasaan di waktu kecil itu berpengaruh banyak kepadaku untuk membuat karangan."

Suka atau kebiasaan membaca itu rupanya berkelanjutan sampai usia dewasa. Selain bacaan, rupanya mendengarkan dongeng atau kisah-kisah yang diutarakan abahnya juga mempengaruhinya secara positif. Dan dalam kenyataannya, seisi rumah, memang menyukai bacaan. Maklumlah. Kerna ortunya memang bekerja sebagai guru. Sang abah mengajar di SD dan SMP, sedangkan sang ibu mengajar sebagai guru agama di SD dan madrasah ibtidaiyah.

Alhasil, pengakuan seorang penyair macam Nanang yang senang membaca hingga mempengaruhinya menjadi pengarang itu memang pertanda penting untuk diperhatikan. Penting diteladani oleh penulis pemula. Kerna bisa dipastikan pula, semua pengarang besar juga sangat besar minatnya untuk membaca. Penting pula disadari oleh masyarakat yang luas akan manfaat yang positif bagi putra-putrinya yang sudah menyukai bacaan sejak masa kecil. Demi pertumbuhan kerohanian dan pencerahan serta perluasan wawasannya.

Pada segi lain, saya memperoleh kesan, bahwa Nanang Suryadi memang salah seorang penyair Indonesia yang produktif. Menulis sajak dimulai sejak masa duduk di bangku sekolah menengah atas. Kupuisi Telah Dialamatkan padamu yang diterbitkan oleh penerbit profesional Dewata Publishing itu merupakan pertanda penting dari kreativitasnya selaku penyair. Sebelum itu, kupuisi-kupuisinya yang masing-masing berjudul Sketsa, Sajak di Usia Dua Satu, Orang Sendiri Membaca Diri, dan Silhuet Panorama dan Negeri yang Menangis, semuanya diterbitkan olehnya sendiri dengan oplahnya paling banyak 200-an eksemplar.

Setelah memenuhi undangan Nanang seraya menikmati sajian tambahan lainnya pula, saya akui bahwa bukan jenuh kekenyangan, melainkan ketagihan yang saya rasakan. Saya coba mengenang Parahiyangan seraya berbisik dalam hati: "Telah lahir Arthur Rimbaud Nusantara: Nanang Suryadi. Kelahiran Serang 8 Juli 1973. Selamat Nanang!" ***

Popular posts from this blog

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi Oleh: Cunong Nunuk Suraja Membaca judul buku kumpulan puisi Nanang, selintas kita sudah terikat pada kata "sepilihan", sebuah kata yang mengisyaratkan adanya kesatuan atau jumlah satu. Barangkali saja penyair akan mempunyai dua atau sekian pilihan. Penggunaan kata yang menabrak kaidah bahasa Indonesia ini akan kita jumpai dalam 100 sajak Nanang yang terpilih dalam buku puisi ini. Nanang sangat suka mengerjai kata dalam sajak-sajaknya dan ini merupakan hak penyair yang dikenal dengan poetic license. Untuk sekadar contoh, kita simak puisi-puisi berikut. terjemah kehendak, pada langit luas ………………………………………… mungkin cuma gurau melupa duka, karena ………………………………………… berabad telah lewat, apa yang ingin didusta? pada bening mata (Sajak “Intro”) Dalam darah buncah meruah gelombangkan gelisah kalut Seperti laut dalam tatapmu memagut. Demikian gairah meniada rasa takut ……………………………………… Ada ruang kosong.

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi Oleh: Asep Sambodja Ada sebuah potret yang memperlihatkan penyair Nanang Suryadi tengah membaca puisi. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam bertuliskan Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Dan puisi-puisi yang dibacakan berasal dari buku Graffiti Gratitude, buku antologi puisi pertama yang diterbitkan oleh YMS. Totalitas! Saya melihat totalitas Nanang Suryadi sejak awal, ketika bersama kawan-kawannya menghidupkan sebuah situs sastra nusantara Cybersastra.net. Tidak saja menerobos dunia cyber yang dapat dikatakan masih baru bagi sastrawan Indonesia, tapi ia sendiri menghidupi situs sastra tersebut, hingga bertahan hidup hingga saat ini. Dan salah satu bahan bakar yang menghidupi Cybersastra.net adalah totalitas Nanang Suryadi dalam kehidupan sastra. Saya sebenarnya malas memuji-muji orang, karena sering disalahtafsirkan sebagai pengkultusan. Padahal, tanpa pujian pun, sebenarnya sajak-sajak Nanang Suryadi telah mampu berdialog sendiri

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah Oleh: Alex R. Nainggolan Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh. Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran,