Skip to main content

Membaca Nanang Suryadi, Menemukan Penari Telanjang

Membaca Nanang Suryadi, Menemukan Penari Telanjang

Oleh: Asep Sambodja

Dalam kumpulan sajak Nanang Suryadi yang kelima, Telah Dialamatkan Padamu" (Dewata Publishing, Jakarta, 2002), kita bisa menemukan bait pembuka dalam sajak "Intro", aku tak mengerti, katamu/ pada sajak banyak ruang terbuka, sebagai isyarat dimulainya pembacaan sajak-sajaknya yang terhimpun dalam buku ini. Bukan saja untuk mengungkap misteri dari sajak-sajak yang terdapat dalam kumpulan sajak ini, karena pembaca sastra tidak melulu sebagai pengejar amanat, melainkan juga mengikuti petualangan yang mengasyikkan bersama penyair dalam memainkan kata-kata hingga pada sajak terakhirnya yang berjudul "Epilog", yang dua bait terakhirnya berbunyi Demikianlah, sunyi tak terbagi/ Milikku sendiri.

Ada semacam rekayasa yang dihadirkan sang penyair (agar pembaca mau) untuk menemaninya bertualang di lautan kata-kata, belantara kata, samudera kata, bahkan gurun kata-kata yang sunyi sepi. Dan petualangan itu merupakan proses yang memperlihatkan pencarian (sekaligus penemuan) eksistensi diri yang tak lagi terbagi.

Dalam proses yang panjang melewati 100 sajak sepi, yang tidak semuanya bertarikh, ada beberapa capaian yang didapati Nanang. Salah satu di antaranya adalah sajak "Telah Dialamatkan Padamu", yang juga menjadi judul buku ini. Selengkapnya sajak itu saya kutip di bawah ini:

telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam pada
pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran

kemana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas
terselip; aku merindukanmu

ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin
diledakkan di dadaku, ke dalam otakku

telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga
makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!


Pengalaman paling berat yang dirasakan penyair adalah ketika ia harus menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Sama sulitnya ketika kita dihadapkan pada pertanyaan kenapa kita mau menjadi penyair, sedangkan kehadiran kita di dunia ini sama sekali tidak jelas asal-usulnya. Kelahiran kita di dunia merupakan sebuah ketelanjuran yang tidak kita inginkan sendiri, yang tidak bisa kita rancang sendiri. Demikian pula menjadi seorang penyair. Menjadi seorang penyair lebih merupakan kutukan ketimbang simbol kehormatan—seperti pahlawan-pahlawan yang telah dikuburkan, misalnya.

Dalam sajak itu, Nanang Suryadi sudah merasakan adanya kutukan semacam itu, telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga makian. Dan sebagaimana nenek moyangnya, Nanang pun dengan terpaksa ataupun dengan suka cita menjalani kehidupan yang sunyi, dalam kesendirian maupun dalam suasana yang di mata orang awam (bukan penyair) dirasakan sebagai suatu kemeriahan atau sesuatu yang hiruk-pikuk, yang massal.

Dan betapa tersiksanya penyair ini ketika harus berhadapan dengan penari striptease ("Penari Telanjang"), karena yang dinikmatinya bukan lagi seorang perempuan yang berlenggak-lenggok, seperti Inul Daratista, Anissa Bahar, atau Liza Natalia yang bergoyang ngebor, dan kemudian perlahan demi perlahan menanggalkan pakaiannya satu demi satu hingga tanggal segala jenis barang produksi manusia. Tinggal tubuh ciptaan-Nya yang cemerlang, yang aduhai pedasnya.

Bukan seperti itu yang dirasakan Nanang, melainkan tak ubahnya seperti seorang sufi yang menafsirkan apa saja yang ada di hadapannya dengan sesuka hatinya, atau misalnya Sutardji Calzoum Bachri yang menenggak bir seperti menenggak air mineral, karena dia memperlakukan bir sebagaimana air putih.

Bagai seorang sufi(is), Nanang menangkap penari telanjang itu seperti melihat Tuhan, dan berharap perempuan (Tuhan) itu terus menari, hingga mengencang syahwat/ serindu-rindu akan wajah Kekasih… Dan kau kulepas segala tabir rahasia/ hingga inti hingga tiada lagi jarak.

Yang mencurigakan—atau barangkali begitulah pandangan seorang penyair sufi—, penari telanjang itu akhirnya 'sirna dan tiada'. Ahmadun Yosi Herfanda yang memberi “Kata Pengantar” buku ini, terutama saat berhadapan dengan sajak "Penari Telanjang", menilai Nanang telah melakukan lompatan sufistik dari hubungan yang imanen ke yang transenden ketika Nanang menggunakan huruf kapital K (Kekasih), M (-Mu), dan N (-Nya), tapi Nanang tidak menuntaskannya hingga baris terakhir.

Baris terakhir yang berbunyi 'sirna dan tiada' memang menimbulkan multitafsir. Bisa saja kata-kata itu diartikan sebagai Tuhan telah mati, atau jarak antara aku-Tuhan yang sirna dan tiada? Jika jarak yang dimaksud demikian, dapatlah Nanang Suryadi digolongkan sebagai penyair sufi (muda) dari generasi cyber di Indonesia, yang sama golongannya dengan Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, dan Al Hallaj. Jika tidak demikian, apakah Nanang masuk dalam golongan "kedua", yakni golongan Nietzsche atau bahkan golongan Firaun dan Gatholoco? Tentu tidak sesederhana itu. Bisa saja Nanang menjadi dirinya sendiri.

Sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini didominasi oleh suasana sepi, suasana pertapaan, pencarian jejak, pencarian asal diri. Dalam salah satu sajaknya, "Mencatatkan Alamat", Nanang menuliskan demikian:

Telah kucatatkan alamat pada alir air
Mungkin sampai pada laut. Carilah

Atau pada matahari atau pada awan atau pada hujan

Di situ kugambar peta,
mungkin kenang sehalaman sorga

Rumah yang telah ditinggalkan lama


Pencarian semacam ini memang sudah lazim atau sudah galib dilakukan banyak penyair, meski Nanang melukiskannya dengan cara yang lain dari penyair-penyair seniornya. Berikut saya kutipkan sebuah sajak utuh Sapardi Djoko Damono yang sangat intens, yang menggambarkan asal-usul manusia hingga sampai ke bumi jelata.

JARAK

dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit: kosong-sepi….

Sajak Sapardi ini menggambarkan dengan jelas betapa kehadiran manusia di bumi sudah demikian tidak berjarak dengan sejarah manusia pertama, Adam, yang 'mengabur' seperti 'dalam dongengan'. Dan meskipun kita menatap ke "atas" sana, tetap tak terjawab dengan segera, dan Nanang menegaskannya seperti Rumah yang telah ditinggalkan lama.

Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono dan Nanang Suryadi yang sedang dibicarakan di atas, penyair kita Chairil Anwar tampaknya masih menyangsikan apa yang dinamakan surga (Rumah yang pernah ditinggalkan Adam). Dalam sajak berjudul "Sorga" yang ditujukan kepada pelukis Basuki Resobowo, Chairil Anwar menulis demikian:

Seperti ibu nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Yati?


Chairil tampaknya hendak meledek, atau mungkin bertanya (karena tidak pernah ke surga), kalau kita tercebur ke dalam sungai yang penuh susu, bisakah mengering seperti saat kita kecemplung di laut biru? Atau, apakah malah tidak lengket? Dan Chairil pun bertanya bagaimana pelabuhan-pelabuhan di surga? (Apakah kapal-kapal juga akan bertambat di lautan susu?—pertanyaan duniawi). Sementara menyangkut bidari, Chairil yang biasa bergaul dengan perempuan-perempuan di Stasiun Senen mempertanyakan apakah bidadarinya juga bersuara ngebas seperti Nina dan kerling matanya menggoda seperti Yati? Ada-ada saja.

Sebenarnya masih banyak sajak Nanang yang menarik untuk dibicarakan, misalnya dengan membandingkannya dengan sajak-sajak Nanang sebelumnya, atau membandingkannya dengan sajak-sajak penyair generasi cyber, seperti—untuk menyebut beberapa nama saja—Medy Loekito, Saut Situmorang, Heriansyah Latief, Rukmi Wisnu Wardhani, Hasan Aspahani, Indah Irianita Putri, Katrin Bandel, Tulus Widjanarko, Henny Purnama Sari, Cecil Mariani, Iwan Sutan Soekri Munaf, Cunong Nunuk Suraja, Yono Wardito, TS Pinang, Ibnu HS, Hadi Susanto, Fati Soewandi, SN Mayasari, Winarti, Gita Romadhona, Qizink La Aziva, Ben Abel, Kuswinarto (Yaqin Saja), dan Ali Syamsuddin. Tapi karena sebuah petualangan memerlukan akhir, tulisan ini pun memerlukan titik.

Dibandingkan dengan sajak-sajak Nanang sebelumnya, seperti dalam kumpulan sajak Silhuet Panorama & Negeri yang Menangis, misalnya, tampak bahwa Nanang Suryadi sudah memiliki gaya pengucapan yang matang. Berikut saya tuliskan sebuah sajak utuh dari buku Telah Dialamatkan padamu, yang mewakili gaya pengucapan sebagian besar sajak terbaru Nanang.

<i>Dan Akupun Menyerah

Hingga jam-jam kabarkan kebosanan pada detak penantian
Tapi siapa yang sanggup tunjukkan arah pulang

Kembali menjenguk wajah sendiri
Demikian memar membiru kesedihan biluri hari

O kesah siapa dicatat pada diri
Hingga muntah aku dimabuk puisi meresah lelah

Ayun ambinglah, larutkan aku
Dalam arus waktumu

Aku menyerah!

Citayam, Februari 2003



Popular posts from this blog

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi Oleh: Cunong Nunuk Suraja Membaca judul buku kumpulan puisi Nanang, selintas kita sudah terikat pada kata "sepilihan", sebuah kata yang mengisyaratkan adanya kesatuan atau jumlah satu. Barangkali saja penyair akan mempunyai dua atau sekian pilihan. Penggunaan kata yang menabrak kaidah bahasa Indonesia ini akan kita jumpai dalam 100 sajak Nanang yang terpilih dalam buku puisi ini. Nanang sangat suka mengerjai kata dalam sajak-sajaknya dan ini merupakan hak penyair yang dikenal dengan poetic license. Untuk sekadar contoh, kita simak puisi-puisi berikut. terjemah kehendak, pada langit luas ………………………………………… mungkin cuma gurau melupa duka, karena ………………………………………… berabad telah lewat, apa yang ingin didusta? pada bening mata (Sajak “Intro”) Dalam darah buncah meruah gelombangkan gelisah kalut Seperti laut dalam tatapmu memagut. Demikian gairah meniada rasa takut ……………………………………… Ada ruang kosong.

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi Oleh: Asep Sambodja Ada sebuah potret yang memperlihatkan penyair Nanang Suryadi tengah membaca puisi. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam bertuliskan Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Dan puisi-puisi yang dibacakan berasal dari buku Graffiti Gratitude, buku antologi puisi pertama yang diterbitkan oleh YMS. Totalitas! Saya melihat totalitas Nanang Suryadi sejak awal, ketika bersama kawan-kawannya menghidupkan sebuah situs sastra nusantara Cybersastra.net. Tidak saja menerobos dunia cyber yang dapat dikatakan masih baru bagi sastrawan Indonesia, tapi ia sendiri menghidupi situs sastra tersebut, hingga bertahan hidup hingga saat ini. Dan salah satu bahan bakar yang menghidupi Cybersastra.net adalah totalitas Nanang Suryadi dalam kehidupan sastra. Saya sebenarnya malas memuji-muji orang, karena sering disalahtafsirkan sebagai pengkultusan. Padahal, tanpa pujian pun, sebenarnya sajak-sajak Nanang Suryadi telah mampu berdialog sendiri

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah Oleh: Alex R. Nainggolan Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh. Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran,