Membaca Nanang yang Selalu Gelisah
Oleh: Alex R. Nainggolan
Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh.
Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran, frustasi, dan rasa kecewa, tapi di balik itu semua terdapat sejumlah harapan yang membuat semangat baru dalam menjalani kehidupan. Kata-kata yang transaparan, begitu jelas lekuknya terlihat. Dalam kata pengantarnya, Ahmadun menyebut sajak-sajak Nanang lebih bernuansa “erotisme religius” ketika Nanang memadukan kenikmatan dunia dan keagungan Tuhan, seperti dalam sajak “Aku Gelandangan Mencari-Mu”. Berikut saya kutip seluruhnya:
Aku gelandangan mencari-Mu dengan tawa nyeri
Dalam busa-busa yang menggelembungkan tanyaku
Aku gelandangan memaki-Mu dengan rindu hati
Tak sanggup katakan cinta kepada mata-Mu yang tusukku
Aku gelandangan terpesona tarian-Mu
Membayang Engkau dengan birahi kepayang mabukku
Aku gelandangan pingsan di jalan sepi
Memimpi-Mu hingga mati berulang kali
Aku gelandangan mencari-Mu
Hingga kini
Nanang rela mendefinisikan dirinya sendiri sebagai seorang gelandangan. Sebagaimana kita tahu, gelandangan adalah orang yang selalu dianggap remeh, dengan nuansa kemiskinan yang lekat pada tubuhnya. Gelandangan yang memimpikan seorang Tuhan. Di sinilah aroma sufi diluapkan, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan oleh Jalaludin Rumi lewat tarian sufinya. Saya juga mencatat beberapa kata yang begitu sering disebutkan Nanang semacam o, tarian, aku, dan kau. Tampak bahwa Nanang mencoba bercakap dengan orang-orang tertentu saja, mempersembahkan suasanan murung yang mulai tumbuh di dalam dirinya, agar dapat dimengerti.
Nuansa kesepian yang begitu nyata, digambarkan Nanang lewat sajaknya yang lain, “Seorang Yang Melipat Sepi”. Bagaimana kecemasan mengendap dalam diri seseorang dengan sudut-sudut sepi yang terus berayun? Dalam lirik sajaknya: malam telahkah demikian larut, dalam anganmu/ dimana cermin diletak, wajah masai tak tampak/ tapi siapa yang menyusun mimpinya, malam-malam begini/ pada dering telepon, suara yang lelah di ujung/ kau melipat sepi/tiada henti.
***
Kata orang, seseorang akan menjadi sangat kreatif apabila berjarak dengan kehidupannya. Meski, bukan berarti orang tersebut harus menyingkir dalam kehidupan, melainkan mengambil sebuah jarak (jeda) antara suatu peristiwa (realitas) untuk ditelurkan dalam sajak-sajak atau tulisan lainnya. Barangkali itulah yang sedang ditempuh oleh Nanang. Secara guyon, Nanang pernah mengatakan: “Kalah Anwar (Chairil Anwar), dalam sepuluh tahun puisiku seribu”. Meskipun terkadang ada beberapa puisi yang cenderung dipaksakan—malah membentuk dunia aneh (infamilier) dengan kebanyakan. Tapi, setidaknya Nanang telah membuktikan, di antara kesibukannya sebagai pemimpin redaksi redaktur puisi di situs sastra nusantara, dirinya masih sempat mengetikkan sajak, termangu di depan layar komputer, dan menarikan jarinya di atas keyboard. Mungkin, ia hanya menulis peristiwa-peristiwa kecil yang sudah sekian lama diremehkan orang, bahkan yang tidak berharga sama sekali. Suatu perlawanan yang diam-diam ditawarkan, di antara kegelisahan dirinya yang terus mencari.
Simak saja dalam sajaknya “Narasi Orang Bosan” berikut:
Aku menjadi orang bosan dan mulai membenci diri sendiri udara pengap tiktak jemari pada keyboard yang lesu wajahmu yang pudar jam yang tak juga berdetik baterenya aus dimakan waktu-waktu?seperti lompat dari bintang mati
Tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi sulapan, dimana engkau dengan mantra: izukalizu tahi tahulonte bau di ubun ubun kluk!
Segera kusandarkan kepalaku hingga wajahmu melompat lagi pada mesin waktu tak kutawarkan rokok bahkan sebatang untukmu juga kawan di sampingku tak menawarkan gin tonic yang meracuni darahnya
Ting tong ting tong kata kawanku menirukan jam yang telah lama mati di meja belajarku mungkin juga menyindir pada photo yang tersembunyi di bawah buku
Ini bukan iklan tentang kawanku atau diriku sendiri yang telah menjadi bebal pembosan dan mungkin sedikit gila menyorongkan wajahnya pada sebuah kamera di sebuah rumah sakit jiwa: kamar 212
Ting tong ting tong kluk izukalizu matamu tahu!
Dalam sajak itu, setiap kalimat disuguhkan tanpa titik. Semua mengalir begitu saja, hanya luapan yang tak berhenti ihwal kebosanan yang terus datang, menyembunyikan diri, hingga ke sebuah rumah sakit jiwa. Ditambah lagi dengan sebuah mantra izukalizu yang mendedahkan nuansa sulap tersendiri, sebagaimana yang digambarkan sebelumnya: tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi sulapan.
Meski ada beberapa sajak yang mencair, menembus setiap sekat kehidupan, sebuah romantisme hidup yang lama terkubur, ditambah citraan religius yang mengendap. Nanang secara perlahan menggoda pembaca untuk menerjemahkan sendiri setiap larik kata yang disusun dalam sajaknya. Hal ini tentunya bergantung pula pada pengalaman dan kekayaan intelektual yang dimiliki pembaca. Sebab, membaca dan memahami sajak adalah kerja tafsir, yang tak setiap orang sama mendefinisikan suatu hal. Keragaman tafsir itulah yang mencerminkan kekayaan sebuah sajak. Bukankah kesenian bergantung pada citra rasa orang per orang (subjektif)?
Itulah Nanang, penyair yang terus gelisah pada apa saja. Terbukti dengan 100 buah sajak dalam kumpulan ini. Dalam tema-tema sedih yang diangkatnya ada sebuah pergulatan, sehingga tak perlu terus-menerus meratapi nasib dan hidup yang berjalan ini.
---------------------
* Alex R. Nainggolan adalah staf ahli PM PILAR Ekonomi Unila, bergiat di Komunitas Sastra Pelangi, Bandar Lampung
Oleh: Alex R. Nainggolan
Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh.
Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran, frustasi, dan rasa kecewa, tapi di balik itu semua terdapat sejumlah harapan yang membuat semangat baru dalam menjalani kehidupan. Kata-kata yang transaparan, begitu jelas lekuknya terlihat. Dalam kata pengantarnya, Ahmadun menyebut sajak-sajak Nanang lebih bernuansa “erotisme religius” ketika Nanang memadukan kenikmatan dunia dan keagungan Tuhan, seperti dalam sajak “Aku Gelandangan Mencari-Mu”. Berikut saya kutip seluruhnya:
Aku gelandangan mencari-Mu dengan tawa nyeri
Dalam busa-busa yang menggelembungkan tanyaku
Aku gelandangan memaki-Mu dengan rindu hati
Tak sanggup katakan cinta kepada mata-Mu yang tusukku
Aku gelandangan terpesona tarian-Mu
Membayang Engkau dengan birahi kepayang mabukku
Aku gelandangan pingsan di jalan sepi
Memimpi-Mu hingga mati berulang kali
Aku gelandangan mencari-Mu
Hingga kini
Nanang rela mendefinisikan dirinya sendiri sebagai seorang gelandangan. Sebagaimana kita tahu, gelandangan adalah orang yang selalu dianggap remeh, dengan nuansa kemiskinan yang lekat pada tubuhnya. Gelandangan yang memimpikan seorang Tuhan. Di sinilah aroma sufi diluapkan, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan oleh Jalaludin Rumi lewat tarian sufinya. Saya juga mencatat beberapa kata yang begitu sering disebutkan Nanang semacam o, tarian, aku, dan kau. Tampak bahwa Nanang mencoba bercakap dengan orang-orang tertentu saja, mempersembahkan suasanan murung yang mulai tumbuh di dalam dirinya, agar dapat dimengerti.
Nuansa kesepian yang begitu nyata, digambarkan Nanang lewat sajaknya yang lain, “Seorang Yang Melipat Sepi”. Bagaimana kecemasan mengendap dalam diri seseorang dengan sudut-sudut sepi yang terus berayun? Dalam lirik sajaknya: malam telahkah demikian larut, dalam anganmu/ dimana cermin diletak, wajah masai tak tampak/ tapi siapa yang menyusun mimpinya, malam-malam begini/ pada dering telepon, suara yang lelah di ujung/ kau melipat sepi/tiada henti.
***
Kata orang, seseorang akan menjadi sangat kreatif apabila berjarak dengan kehidupannya. Meski, bukan berarti orang tersebut harus menyingkir dalam kehidupan, melainkan mengambil sebuah jarak (jeda) antara suatu peristiwa (realitas) untuk ditelurkan dalam sajak-sajak atau tulisan lainnya. Barangkali itulah yang sedang ditempuh oleh Nanang. Secara guyon, Nanang pernah mengatakan: “Kalah Anwar (Chairil Anwar), dalam sepuluh tahun puisiku seribu”. Meskipun terkadang ada beberapa puisi yang cenderung dipaksakan—malah membentuk dunia aneh (infamilier) dengan kebanyakan. Tapi, setidaknya Nanang telah membuktikan, di antara kesibukannya sebagai pemimpin redaksi redaktur puisi di situs sastra nusantara, dirinya masih sempat mengetikkan sajak, termangu di depan layar komputer, dan menarikan jarinya di atas keyboard. Mungkin, ia hanya menulis peristiwa-peristiwa kecil yang sudah sekian lama diremehkan orang, bahkan yang tidak berharga sama sekali. Suatu perlawanan yang diam-diam ditawarkan, di antara kegelisahan dirinya yang terus mencari.
Simak saja dalam sajaknya “Narasi Orang Bosan” berikut:
Aku menjadi orang bosan dan mulai membenci diri sendiri udara pengap tiktak jemari pada keyboard yang lesu wajahmu yang pudar jam yang tak juga berdetik baterenya aus dimakan waktu-waktu?seperti lompat dari bintang mati
Tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi sulapan, dimana engkau dengan mantra: izukalizu tahi tahulonte bau di ubun ubun kluk!
Segera kusandarkan kepalaku hingga wajahmu melompat lagi pada mesin waktu tak kutawarkan rokok bahkan sebatang untukmu juga kawan di sampingku tak menawarkan gin tonic yang meracuni darahnya
Ting tong ting tong kata kawanku menirukan jam yang telah lama mati di meja belajarku mungkin juga menyindir pada photo yang tersembunyi di bawah buku
Ini bukan iklan tentang kawanku atau diriku sendiri yang telah menjadi bebal pembosan dan mungkin sedikit gila menyorongkan wajahnya pada sebuah kamera di sebuah rumah sakit jiwa: kamar 212
Ting tong ting tong kluk izukalizu matamu tahu!
Dalam sajak itu, setiap kalimat disuguhkan tanpa titik. Semua mengalir begitu saja, hanya luapan yang tak berhenti ihwal kebosanan yang terus datang, menyembunyikan diri, hingga ke sebuah rumah sakit jiwa. Ditambah lagi dengan sebuah mantra izukalizu yang mendedahkan nuansa sulap tersendiri, sebagaimana yang digambarkan sebelumnya: tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi sulapan.
Meski ada beberapa sajak yang mencair, menembus setiap sekat kehidupan, sebuah romantisme hidup yang lama terkubur, ditambah citraan religius yang mengendap. Nanang secara perlahan menggoda pembaca untuk menerjemahkan sendiri setiap larik kata yang disusun dalam sajaknya. Hal ini tentunya bergantung pula pada pengalaman dan kekayaan intelektual yang dimiliki pembaca. Sebab, membaca dan memahami sajak adalah kerja tafsir, yang tak setiap orang sama mendefinisikan suatu hal. Keragaman tafsir itulah yang mencerminkan kekayaan sebuah sajak. Bukankah kesenian bergantung pada citra rasa orang per orang (subjektif)?
Itulah Nanang, penyair yang terus gelisah pada apa saja. Terbukti dengan 100 buah sajak dalam kumpulan ini. Dalam tema-tema sedih yang diangkatnya ada sebuah pergulatan, sehingga tak perlu terus-menerus meratapi nasib dan hidup yang berjalan ini.
---------------------
* Alex R. Nainggolan adalah staf ahli PM PILAR Ekonomi Unila, bergiat di Komunitas Sastra Pelangi, Bandar Lampung