Skip to main content

Suryadian, Berkubang di Alamnya Sendiri

Suryadian, Berkubang di Alamnya Sendiri

Oleh: Jibsail


Penyair bermain dengan kegalauannya, itu biasa. Penyair bermain dengan kerinduannya, itu biasa. Penyair bermain dengan kesunyiannya, itu biasa. Bahkan tidak ada yang luar biasa ketika penyair berkubang dengan suka dan perihnya cinta yang dia rasakan.

Berangkat dari biasa dan tidak adanya keluarbiasaan itu, adalah kita. Seberapa jauh kita berani membenamkan diri untuk menelusuri dan menyelami yang biasa dan tidak luarbiasa itu? Keberanian tersebut adalah kerapuhan. Dan kerapuhan dari keberanian tersebut adalah yang moment buat kita untuk hidup tangguh.

Jadi, kerapuhan bukanlah petaka atau sumber dari segala bencana. Kerapuhan adalah mukjizat inspirasi; sumber dari segala improvisasi, seperti ketika penyair bermain dengan alamnya sendiri. 'Alam sendiri' adalah fenomena bahwa tidak ada yang lebih hebat di jagad ini. Tidak ada hal lain yang sanggup demikian kuat untuk berbuat sesuatu.

Ada jalur yang begitu jelas antara "penyair yang bermain dengan alamnya sendiri" dan "penyair yang bermain di alamnya sendiri". Karena ini bukan suatu dialektik, akrobrat multifungsi, atau permainan sulap dari susunan kata-tata bahasa.

Tapi, inilah embrio dari segala yang mahabiasa, dari segala yang maha di luar, tersirat di bawah alam sadar kita, yang tidak begitu saja 'menemu' ketika kita dengan berani bahkan nekat sekalipun ... terjun bebas menelusur, menyelam hingga terbenam ... dan kemudian sadar bahwa kita telah begitu saja sesaat rapuh di alam yang entah milik siapa; itulah hasil kerja (an) Nanang Suryadi.

Suryadiannya Nanang Suryadi:
Masih Kulihat Rembulan di Antara Sihir Lampu
buat: Kunthi Hastorini

masih kulihat rembulan, cahayanya yang kuning keemasan, menggoda ingatanku,
kepadamu. di antara lampu-lampu merkuri dan sorot kendaraan, aku takjub
memandang langit, rembulan yang terang cahayanya.

aku ingat engkau sayangku, dan ribuan kata-kata berloncatan ingin menjelma
puisi.

puisi menjelma dari sepotong film animasi. dunia kanak-kanak yang menjadi
kenangan. bayangkan kita memandang rembulan dan mengaung, sebagai serigala,
yang menggetarkan langit dengan jerit yang teramat sedih.

mungkin rindu.
pada kekasih di langit yang jauh. di negeri yang jauh. di angan yang rapuh.

malam ini, sayangku, aku ingin kau tatap rembulan, terang cahayanya.
seterang cinta kita yang menerang langit.

demikian purnama.

-------------
Guntur 18 Desember 2002, Malabar 19 Desember 2002



Popular posts from this blog

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah Oleh: Sihar Ramses Simatupang Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan. Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir Hamzah bersama Pujangga Baru-nya dari pusaran kesusastraan Melayu, Chairil Anwar yang mendobrak tradisi dan mengadopsi puisi barat, Rendra yang melaju pada realitas sosial, Tardji yang mengolah kesadaran lama tentang mantra hingga gaya pecahan kata dengan konsep Posmo dari seorang Afrizal ...

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan Oleh: Ben Abel sajak-sajak nanang adalah sajak bujangan ; sebagai pembaca [[[[[[[[bener nih ?]]]]]]] aku jarang sekali menemukan kata mereka, tetapi aku kau dan kita ; Jadi bila kesunyian lagi menggugu, puncak lagu yang terbayang "tinggal jerit sendiri" dan merah api melibat-libat semena ; Itu lantaran nanang suka banget memakai kata CAHAYA, API, TERANG, atau serbaneka kata yang membuat pembacanya berasosiasi tentang kata2 itu ; semisal [pintas lalu] : SKETSA DI HALAMAN BUKU, dalam sajak ini tak ada kata api , terang maupun cahaya TAPI : "tubuh telanjang, jongkok, kepala bertanduk [[[[katanya]]]], sketsa di tangan perempuan demikiankah cinta ayu, puisi yang tak kunjung dipahami, selain dongeng tentang hari-hari entah, yang tak perlu ditanyakan" ---- ya, kepala bertanduk tak mungkin bikin pembaca mengasosiasikannya pada lele maupun banteng segi tiga, apalagi PDI-suryadi [kebetulan bukan bapaknya nanang soeryadi]; Toh, j...

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah Oleh: Alex R. Nainggolan Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh. Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran, ...