Skip to main content

Membaca “Demikianlah Ia Berbahagia”

Membaca “Demikianlah Ia Berbahagia”

Oleh: Ben Abel

Kali ini, “Engkau ditikam sepi, engkau ditikam rindu, engkau ditikam ; Sampai puncak nyeri, hingga tak ada airmata, hingga tinggal tawa: luka” -- dan dengan ini, Nanang memaksa yang dipaksa diri [sendiri] melangit. Seperti pernah kusampaikan bahwa sajak-sajak Nanang adalah sajak bujang. Ia tidak pernah menggunakan kata orang ketiga, seperti : Mereka, dan dia, maupun kata ganti jamak : Kami, atau kita. Tetapi selalu bersekitar antara kau dan aku, yang seolah hanya berbicara pada diri sendiri. Seperti kepeduliannya hanya didalam, dan tidak mempedulikan keribuatan yang di luar.

Namun dalam sajak “Demikianlah Ia Berbahagia” ini seakan telah terjadi pengecualian yang terasa bukan saja sekedar lain. Tetapi menjadi bentuk lain dari intensitas kepenyairannya.

"inilah upacara persetubuhan manusia sepi dan kata yang mabuk" - mungkin kata "dan" disini maksudnya adalah "dengan" -jadi- ia menjadi " "inilah upacara persetubuhan manusia sepi dengan kata yang mabuk" ---- di bulan Mei 2002 ini nanti sedang lalu, rupanya ada tingkat intensitas yang seperti : "Gemuruh meriuh dalam dada, berdebam suara membaur, gebalau kacau" pada kontemplasi itikad diri kepenyairan Nanang; Dalam "Demikianlah Ia Berbahagia" ini kata-kata bernada g e m p a r mengirama rasa g u s a r [nya]... lihatlah! Baris kata-kata berikut :

gemuruh,
debam,
tikam,
luka,
pukimak /1/
gairah,
sayat,
tusuk,
pisau,
goyang pinggul /2/

oh O puncak derita [selangit] adalah kebahagiaan; Kita tak tau apakah Nanang sedang muntah atau meludah. Karena kata-kata : Hampa, kosong dan gundah di bait awal, serasa mengabarkan rasa lapar, selangit pula. Tetapi jeret k a t a "tikam" berkali-kali, l a l u getir memuncak di pukimak dalam peluk-peluk yang menyayat, pada mata yang berkunang kenangan, dan gairah pisau [[[[[ bukan b e l a t i seperti pakem yuliet & romeo ]]]]]] yang menari-nari, menggeliat-geliat dengan raupan kata-kata [erotik] goyang pinggul [[[ mungkin yang terbayang adalah penyanyi dangdut ]]] semua menggambarkan pada kita adanya kecamukan berpendar disana. Mungkin rasa mual. Muak. Atau begitulah kesadaran yang dimuntahkan pada kegetiran. Dimana pahit beroleh manis berasa masam, diramu jadi satu kepastian nilai sebagai yang sekian diimpikan. Adalah “O puncak derita bahagia!”


Oi ! Sepi meracau, mabuk berebut menusuk, memeluk dalam kancah yang : "Gemuruh meriuh dalam dada, berdebam suara membaur, gebalau kacau" pada penyerahannya [takluk yang mengerti] pada intaian dalam, "inilah upacara persetubuhan manusia sepi dan [atawa dengan] kata yang mabuk" --- Lalu penyerahan itu : t u s u k l a h, tusuklah, t-u-s-u-k-l-a-h, tusuk klimaks atawa orgasme satu kata menuju [pusara masa lalu?] ; "Tusuklah dadaku tusuklah di mana saja kau mau di mana saja kau suka." Satu penyerahan yang sekaligus menantang maju. Memaksa satu pentas bayangan proses gelut, pergulatan antara dua kutub,[bak putaran yin-yang, yang tak pasti titik hentinya]; Karena proses ini merubah [menabrak] semua kemapanan, kebiasaan, dan keseharian; Maka terasa meluka, mencabik, mendobrak dan meluluhlantak ...... gebalau kacau, gulana gundah, ditikam pisau, kata-kata yang bergoyang pinggul, mata mabuk dan mula-mula berkunang kenangannya. Semua seperti merajut diakhirnya menjadi "demikianlah ia berbahagia.” Karena impas semua gebalau itu ternyata tetap sama pada kehidupannya yang tetap antara : Derita dan bahagia, atawa bahagia dan derita [yin-yang berputar tak tentu titik hentinya]. Mungkin keruk kehidupan bagi seorang penyair adalah dari itu ke itu, namun pada kreatifitasnya ada penyerahan, seperti laku satu doa maupun pengharapan. Disini letak hubungan manusia dan kemanusiaan yang terkadang membuat syair seperti rintihan maupun doa-doa biasa, yang bertele-tele tetapi mempesona. Namun dalam "demikianlah ia berbahagia" pembaca dipaksa melangit, membaca tubuhnya sendiri yang dicabik luka, dan kembali dengan dua kaki yang menginjak dua timbangan, antara derita dan bahagia atawa bahagia dan derita.

“Engkau ditikam sepi, engkau ditikam rindu, engkau ditikam
Sampai puncak nyeri, hingga tak ada airmata, hingga tinggal tawa: luka”

Hasilnya [sambil menangkup doa] : “O puncak derita bahagia!” ---- memang [hal] bahagia tidak berpuncak, cuma selalu selangit rasa .... Sementara [hal] derita selalu seperti bergaris horison yang naik turun. Berpuncak dan berdatar, serta mencolok rasanya seperti roller coaster.

Bukan main … ah nang, kau akhirnya tidak bujang lagi ---- he he he ------ rasanya sajakmu yang ini telah menasbihkan kehendak tuju, melangit dan selangit sekaligus berodagila. Roller koster.

Tabik pembaca,
Ben abel

/1/ [[[[[[ kena rabies si saut ]]]]],
/2/ [[[[ erotika ala nabidapur daripada tanahdatar heri latief ]]]]],

At 12:52 PM 5/2/2002 +0000, you wrote:
Demikianlah Ia Berbahagia

Gemuruh meriuh dalam dada, berdebam suara membaur, gebalau kacau
Hampa pandang, tatap kosong, o mata, ceritakan gulana gundah

Engkau ditikam sepi, engkau ditikam rindu, engkau ditikam
Sampai puncak nyeri, hingga tak ada airmata, hingga tinggal tawa: luka

Demikian getir kekeh bahak memuncak puncak: oi sepi pukimak, peluk aku
Dan sepi memeluk dengan penuh gairah, menyayatnya dengan kenangan

Sambil menusuk hingga ke hulu, sepisau kenangan menari-nari kegirangan
Menggeliatlah menggeliatlah hingga kembali pada titik: mula-mula

Serangkum kata ikut menari, menggoyangkan pinggulnya ke sana ke mari
Meracau mabuk, berebut ingin ikut memeluk dan menusuk

O, inilah upacara persetubuhan manusia sepi dan kata yang mabuk
Tusuklah dadaku tusuklah di mana saja kau mau di mana saja kau suka

O puncak derita bahagia!

Depok, 2 Mei 2002




Popular posts from this blog

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan padamu Sepilihan Sajak Nanang Suryadi Oleh: Cunong Nunuk Suraja Membaca judul buku kumpulan puisi Nanang, selintas kita sudah terikat pada kata "sepilihan", sebuah kata yang mengisyaratkan adanya kesatuan atau jumlah satu. Barangkali saja penyair akan mempunyai dua atau sekian pilihan. Penggunaan kata yang menabrak kaidah bahasa Indonesia ini akan kita jumpai dalam 100 sajak Nanang yang terpilih dalam buku puisi ini. Nanang sangat suka mengerjai kata dalam sajak-sajaknya dan ini merupakan hak penyair yang dikenal dengan poetic license. Untuk sekadar contoh, kita simak puisi-puisi berikut. terjemah kehendak, pada langit luas ………………………………………… mungkin cuma gurau melupa duka, karena ………………………………………… berabad telah lewat, apa yang ingin didusta? pada bening mata (Sajak “Intro”) Dalam darah buncah meruah gelombangkan gelisah kalut Seperti laut dalam tatapmu memagut. Demikian gairah meniada rasa takut ……………………………………… Ada ruang kosong.

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi

Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi Oleh: Asep Sambodja Ada sebuah potret yang memperlihatkan penyair Nanang Suryadi tengah membaca puisi. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam bertuliskan Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Dan puisi-puisi yang dibacakan berasal dari buku Graffiti Gratitude, buku antologi puisi pertama yang diterbitkan oleh YMS. Totalitas! Saya melihat totalitas Nanang Suryadi sejak awal, ketika bersama kawan-kawannya menghidupkan sebuah situs sastra nusantara Cybersastra.net. Tidak saja menerobos dunia cyber yang dapat dikatakan masih baru bagi sastrawan Indonesia, tapi ia sendiri menghidupi situs sastra tersebut, hingga bertahan hidup hingga saat ini. Dan salah satu bahan bakar yang menghidupi Cybersastra.net adalah totalitas Nanang Suryadi dalam kehidupan sastra. Saya sebenarnya malas memuji-muji orang, karena sering disalahtafsirkan sebagai pengkultusan. Padahal, tanpa pujian pun, sebenarnya sajak-sajak Nanang Suryadi telah mampu berdialog sendiri

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah Oleh: Alex R. Nainggolan Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh. Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran,