Telah Dialamatkan Padamu, Nanang Suryadi
Oleh: Asep Sambodja
Ada sebuah potret yang memperlihatkan penyair Nanang Suryadi tengah membaca puisi. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam bertuliskan Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Dan puisi-puisi yang dibacakan berasal dari buku Graffiti Gratitude, buku antologi puisi pertama yang diterbitkan oleh YMS.
Totalitas! Saya melihat totalitas Nanang Suryadi sejak awal, ketika bersama kawan-kawannya menghidupkan sebuah situs sastra nusantara Cybersastra.net. Tidak saja menerobos dunia cyber yang dapat dikatakan masih baru bagi sastrawan Indonesia, tapi ia sendiri menghidupi situs sastra tersebut, hingga bertahan hidup hingga saat ini. Dan salah satu bahan bakar yang menghidupi Cybersastra.net adalah totalitas Nanang Suryadi dalam kehidupan sastra.
Saya sebenarnya malas memuji-muji orang, karena sering disalahtafsirkan sebagai pengkultusan. Padahal, tanpa pujian pun, sebenarnya sajak-sajak Nanang Suryadi telah mampu berdialog sendiri dengan pembacanya. Simak sajak Nanang Suryadi "Telah Dialamatkan Padamu", yang menurut saya menjadi foto rontgen kepenyairannya, sekaligus dapat ditangkap pula sebagai proses kreatifnya yang intens, yang juga menjadi judul buku kumpulan puisinya yang baru.
telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam pada pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran
kemana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas terselip: aku merindukanmu
ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin diledakan di dadaku, ke dalam otakku
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
Bagi yang masih percaya pada kata, seperti dituturkan Sapardi Djoko Damono, diam adalah inti gejolaknya. Dan Nanang pun mempertanyakannya pada diri sendiri, "omong kosong apalagi yang akan kutuliskan?"
Ketika kata-kata menghujam (dialamatkan) pada Nanang Suryadi, kata-kata itu menjelma puisi: satu karya seni yang memerlukan intensitas dan totalitas dalam berkarya.
Ahmadun Yosi Herfanda melihatnya dari sudut religius, dan ia pun menemui sajak Nanang Suryadi "Penari Telanjang" sebagai sajak 'erotisme religius' karena munculnya kata-kata 'Kekasih' yang menggunakan huruf kapital, seperti juga pada kata Mu. (Di Indonesia memang sudah lazim penyebutan sapaan Tuhan dengan menggunakan huruf-huruf kapital).
Saya menghargai interpretasi dari sudut pandang yang diberikan Ahmadun, meskipun penggunaan huruf-huruf kapital seperti ini pasti akan menimbulkan reaksi bolak-balik dari Saut Situmorang.
Penilaian yang diberikan Ahmadun menjadi menarik, karena kalau kita bandingkan metafora yang digunakan Nanang Suryadi dengan Amir Hamzah, terlihat suatu perbedaan yang mencolok. Amir Hamzah mengumpamakan Tuhan sebagai gadis yang bersembunyi di balik tirai, sementara Nanang Suryadi menggambarkan Tuhan sebagai penari telanjang. Sama-sama religius, menurut kacamata Ahmadun, tapi daya ungkap kedua penyair berbeda.
Nanang Suryadi memiliki kemampuan yang menonjol dalam puisi-puisi liris, atau disebut sebagai puisi suasana oleh Goenawan Mohamad. Dalam satu tulisan di Milis Penyair, saya menyebut Nanang Suryadi, TS Pinang, dan Tulus Widjanarko sebagai The Three Musketeers sastrawan generasi cyber, karena ketiga penyair memiliki gaya yang tak jauh beda dalam menyulam kata. Berikut ini salah satu sajak liris Nanang yang terinspirasi dari calon istrinya.
Perempuan yang Bernama Kesangsian
o, perempuan yang bernama kesangsian, dibaca guguran senja pada bintik hitam, matamu.
sebagai engkau, berlari dalam hempas angin. hujan menderas dimana-mana. bukan juga airmatamu?
tak dikabarkan resah pada desah. karena musim berangkat tak menunggu.
dimana kan dikuburkan gulana. tak terpeta.
Membaca sajak-sajak Nanang Suryadi dalam kumpulan sajaknya yang baru, Telah Dialamatkan Padamu, kita seperti merasakan sedang mencintai seorang perempuan, kekasih, atau Kekasih dengan susah payah. Dalam proses mencinta yang penuh perjuangan itulah kita menikmati kelembutan perasaan seorang Nanang Suryadi, penyair dari Pulomerak. ***
Citayam, Ramadhan 2002
Oleh: Asep Sambodja
Ada sebuah potret yang memperlihatkan penyair Nanang Suryadi tengah membaca puisi. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam bertuliskan Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Dan puisi-puisi yang dibacakan berasal dari buku Graffiti Gratitude, buku antologi puisi pertama yang diterbitkan oleh YMS.
Totalitas! Saya melihat totalitas Nanang Suryadi sejak awal, ketika bersama kawan-kawannya menghidupkan sebuah situs sastra nusantara Cybersastra.net. Tidak saja menerobos dunia cyber yang dapat dikatakan masih baru bagi sastrawan Indonesia, tapi ia sendiri menghidupi situs sastra tersebut, hingga bertahan hidup hingga saat ini. Dan salah satu bahan bakar yang menghidupi Cybersastra.net adalah totalitas Nanang Suryadi dalam kehidupan sastra.
Saya sebenarnya malas memuji-muji orang, karena sering disalahtafsirkan sebagai pengkultusan. Padahal, tanpa pujian pun, sebenarnya sajak-sajak Nanang Suryadi telah mampu berdialog sendiri dengan pembacanya. Simak sajak Nanang Suryadi "Telah Dialamatkan Padamu", yang menurut saya menjadi foto rontgen kepenyairannya, sekaligus dapat ditangkap pula sebagai proses kreatifnya yang intens, yang juga menjadi judul buku kumpulan puisinya yang baru.
telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam pada pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran
kemana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas terselip: aku merindukanmu
ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin diledakan di dadaku, ke dalam otakku
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
Bagi yang masih percaya pada kata, seperti dituturkan Sapardi Djoko Damono, diam adalah inti gejolaknya. Dan Nanang pun mempertanyakannya pada diri sendiri, "omong kosong apalagi yang akan kutuliskan?"
Ketika kata-kata menghujam (dialamatkan) pada Nanang Suryadi, kata-kata itu menjelma puisi: satu karya seni yang memerlukan intensitas dan totalitas dalam berkarya.
Ahmadun Yosi Herfanda melihatnya dari sudut religius, dan ia pun menemui sajak Nanang Suryadi "Penari Telanjang" sebagai sajak 'erotisme religius' karena munculnya kata-kata 'Kekasih' yang menggunakan huruf kapital, seperti juga pada kata Mu. (Di Indonesia memang sudah lazim penyebutan sapaan Tuhan dengan menggunakan huruf-huruf kapital).
Saya menghargai interpretasi dari sudut pandang yang diberikan Ahmadun, meskipun penggunaan huruf-huruf kapital seperti ini pasti akan menimbulkan reaksi bolak-balik dari Saut Situmorang.
Penilaian yang diberikan Ahmadun menjadi menarik, karena kalau kita bandingkan metafora yang digunakan Nanang Suryadi dengan Amir Hamzah, terlihat suatu perbedaan yang mencolok. Amir Hamzah mengumpamakan Tuhan sebagai gadis yang bersembunyi di balik tirai, sementara Nanang Suryadi menggambarkan Tuhan sebagai penari telanjang. Sama-sama religius, menurut kacamata Ahmadun, tapi daya ungkap kedua penyair berbeda.
Nanang Suryadi memiliki kemampuan yang menonjol dalam puisi-puisi liris, atau disebut sebagai puisi suasana oleh Goenawan Mohamad. Dalam satu tulisan di Milis Penyair, saya menyebut Nanang Suryadi, TS Pinang, dan Tulus Widjanarko sebagai The Three Musketeers sastrawan generasi cyber, karena ketiga penyair memiliki gaya yang tak jauh beda dalam menyulam kata. Berikut ini salah satu sajak liris Nanang yang terinspirasi dari calon istrinya.
Perempuan yang Bernama Kesangsian
o, perempuan yang bernama kesangsian, dibaca guguran senja pada bintik hitam, matamu.
sebagai engkau, berlari dalam hempas angin. hujan menderas dimana-mana. bukan juga airmatamu?
tak dikabarkan resah pada desah. karena musim berangkat tak menunggu.
dimana kan dikuburkan gulana. tak terpeta.
Membaca sajak-sajak Nanang Suryadi dalam kumpulan sajaknya yang baru, Telah Dialamatkan Padamu, kita seperti merasakan sedang mencintai seorang perempuan, kekasih, atau Kekasih dengan susah payah. Dalam proses mencinta yang penuh perjuangan itulah kita menikmati kelembutan perasaan seorang Nanang Suryadi, penyair dari Pulomerak. ***
Citayam, Ramadhan 2002