Skip to main content

O Sajak O Apa O



Oleh: Agustinus Wahyono

Semula, setelah menikmati ‘kata pengantar’, saya membuka sajak-sajak dalam buku Telah Dialamatkan Padamu secara cepat dan segera berlembar-lembar. Dari membaca cepat dan berlembar-lembar itu beberapa kali saya diperhadapkan dengan sebuah kata. Kata “O” (huruf vokal, ataukah juga malah bukan huruf melainkan angka nol?). Dari satu “O” berloncatan ke “O” lainnya; baik dalam satu sajak maupun berpindah ke sajak lainnya.

Ada apa dengan “O”, kok suka sekali sang sajakis memakainya, pikir saya penasaran.

Berikut-berikutnya saya pun menemukan sajak berjudul “O Mata”. Ya, “O Mata”, tampak jelas memakai kata “O” di daftar isi dan di halaman 18. Saya semakin penasaran saja, ada apa dengan “O”; apa yang hendak disampaikan oleh sajakis Nanang Suryadi (NS) melalui sajak-sajaknya.

Maka, karuan saja saya cari jejak-jejak “O” pada sajak-sajak NS dalam antologinya itu. Satu per satu saya baca baik-baik, lalu saya hitung. Ternyata dari 99 sajak dalam buku tersebut terdapat 24 sajak atau 24,24% yang mengandung kata “O”. Astaga!

Hasil temuan saya: O waktu (“Yang Menyimpan Rindu”, hlm.13 ), O siapa dapat membaca (“Sketsa Jejak”, hlm.15 ), O diri (“Bagaimana Diterjemah”, hlm.16 ), O mata (“O Mata”, hlm.18), O, ribuan cahaya (“Perempuan Pagi Berwajah Puisi”, hlm.27), O lambai (“Ziarah Kenangan”, hlm.28), O alun (“Symphony No.40 in G Minor”, hlm.29), O yang menjangkau hatimu (“Sebagai Upacara”, hlm.35), O perempuan (“Perempuan yang Bernama Kesangsian”, hlm.37), O santapan terlezat (“Inilah Hujan di Saat Senja”, hlm.54), O langit yang biru (“Bayang”, hlm.65), O kekasih dimana (“Kata yang Terpatah”, hlm.74), O parau jerit (“Persembahan Darah”, hlm.79), O diri hingga tumpas (“Langit Tumbang”, hlm.80), O langit siapa (“Membaca Darah”, hlm.81), O kekasih diri (“Dimana Engkau”, hlm.83), O cahaya maha cahaya (“Tawanan Cahaya”, hlm.84), O silau cahaya (“Tualang”, hlm.86), O mimpi yang membusuk (“Kenang”, hlm.96), O manusia (“~~~~~~~~~++”, hlm.99), O rindu mengaduk (“Menemu Pukau Rindu”, hlm.105), O mata tersilau (“Takluk”, hlm.106), O kesah siapa (“Dan Akupun Menyerah”, hlm.107), dan O inilah upacara (“Demikianlah Ia Berbahagia”, hlm.108).

Selanjutnya, saya menghitung berapa kali kata “O” itu disebutkan. Walhasil saya menemukan sebanyak 41 kali kata “O” ditorehkan sang sajakis NS pada kumpulan sajaknya, misalnya o waktu, o siapa, o diri, o mata, o ribuan cahaya, o lambai, o pijar, o alun, o yang menjangkau, o perempuan, o mimpi, o santapan, o hidangkan, o daging, o langit, o angin, o kekasih, o engkau, o parau, o yang rindu, o cahaya, o silau, o manusia, o rindu, o mengalir, o kesah, o inilah upacara, o puncak, dan lain-lain.

Ada apa ini, kok cukup banyak “O”-nya (apakah itu betul-betul hanya kata, ataukah justru sebuah bilangan “0” alias nol alias kosong)?
***

Kata “O”, menurut Poerwadarminta (1986), adalah kata seru yang menyatakan heran dan sebagainya. Biasanya, kata tersebut diucapkan atau diekspresikan dengan mimik wajah melongo, sepasang bibir membulat. Tak jarang kata “O”-nya disuarakan agak panjang menjadi “Ooo…”. Selain itu, dalam pergaulan sehari-hari, sebagian orang Jawa sangat umum dengan ungkapan semisal “O walah, jebulnya Sampeyan to” ( o walah, rupanya Anda ya).

Korelasi dalam sajak-sajak NS, kata “O” untuk menyatakan heran tersebut saya contohkan pada cuplikan sajak “Perempuan Pagi Berwajah Puisi” (hlm.27).

Aku merindukanmu, katamu, pada pagi dimana puisi meronta meluncur mendesak
menghancur melumat memabukanku. Dengan terbata kubaca sepi di wajahmu yang puisi. O,
ribuan cahaya. Berangkat dari pelupuk mata.

Kata “O” tersebut adalah seruan keheranan yang manusiawi tatkala sang sajakis tengah dirundung rindu, dimabuk puisi pagi, dan membaca sepi pada seraut wajah. Namun, tiba-tiba yang terkuak justru ribuan cahaya alias sesuatu yang tidak disangka-sangka. O, ribuan cahaya. Bagaimana bisa dari kesepian yang merias wajah puitis gadis itu, sang sajakis malah menjumpai ribuan cahaya yang beranjak dari pelupuk mata gadis itu. Pada kesempatan tersebut sang sajakis laksana mendapatkan mutiara pada tempat sepi senyap. Kerinduanlah yang membuat sang sajakis sudi meluangkan waktu dan berusaha sampai ‘terbata’ menyimak sepi itu, sehingga hasilnya pun di luar dugaan.

Hal lain yang sebenarnya kontekstual adalah dimensi waktu, yakni “pada pagi”. Pagi adalah ekspresi kegirangan mentari saat memulai tugas rutinnya. Warna cahayanya umumnya kuning cerah. Namun, pada ‘kasus’ yang dialami sang sajakis, justru “ribuan cahaya”. Wajar saja jika kemudian dia terkejut seraya berucap, “O, ribuan cahaya.”

Dalam pemahaman imajinasi verbal saya terhadap teks sajak NS yang lain, kata “O” bisa juga sepadan dengan kata seruan bersifat teguran “wahai”. Misalnya, “O manusia, dimana kau tahu segala rahasia” (“---~~~~~~++”, hlm.99) yang saya padankan menjadi “wahai manusia, dimana kau tahu segala rahasia”. Kata “O” dalam padanan dengan kata “wahai” memiliki kedekatan makna, bahkan bermakna tunggal. Dari kemanunggalan makna tersebut “daya magis” akan terasa benar-benar lebih mendalam dengan memakai kata “O” ketimbang sekadar datar memakai kata “wahai” yang berkesan formal dan normatif.

Dalam pergaulan sehari-hari, kata “O” dalam padanan kata “wahai” kerap diujarkan antarorang. Kata “O” telah menjadi sebutir kalimat yang berkekuatan, meski sebatas dalam imajinasi saya sendiri. Biasanya, setahu saya, kata “O” ini menjadi jembatan untuk memulai suatu ungkapan semacam mengadu (wadul; bhs Jawa), memberitahukan atau minta petunjuk atas sesuatu. Sebagian orang Bangka (karena saya berasal dari Bangka) acap menggunakan kata “O” manakala mereka hendak menyampaikan, semisal, “O, Mak, kemarin aku tengok orang bekelai di kantor polisi.” Pelafalan “O, Mak” dilakukan dengan nada direndahkan sedikit dan pada kata “Mak” dinaikkan. Kata “O” dan “Mak” dibaca langsung—seakan-akan tanpa jeda, sehingga menjadi “O-Mak”.

Saya merasakan bahwa ungkapan “O” sepadan dengan sapaan “Wahai” atau pertama kali pada sajak “Yang Menyimpan Rindu” (hlm.13).

Mengenangmu, menandai penanggalan, hari-hari demikian lambat
O waktu, siapa yang mengarungi laut gelombang, hingga ke tepian merapat

Tampak bahwasannya sang sajakis bertanya kepada “waktu” (sejarah, masa lalu, bilangan masa). Dia langsung mengadu kepada “waktu”, sebab di sanalah terpahatkan “kenangan yang menyimpan rindu”. Kata “O” tersebut sepadan dengan “wahai” atau juga seperti contoh “O, Mak” pada kebiasaan mengadu atau menyampaikan sesuatu.

Kasus lain yang juga menarik bagi saya, adalah ketika saya mencoba membunyikan sebagian cuplikan sajak “Membaca Darah” (hlm.81).

o, langit siapa yang masih menyimpan mesiu
gemuruh dendam menumbang cinta

o, langit siapa yang tak membaca
dunia semakin kemarau terasa

Dalam benak saya, pengucapan sajak tersebut mengandung dua perbedaan nada. Pertama, “o” sebagai nada heran alias ekspresi keheranan sang sajakis setelah melihat ‘langit’. “o, langit siapa yang masih menyimpan mesiu”. Kata “O”-nya diucapkan pendek saja. Kesan yang tampak hanyalah sekilas sebuah ungkapan keheranan sekaligus mempertanyakan sesuatu kepada “langit” (langit itu sendiri sebagai saksi, atau Tuhan) yang sekilas saja.

Kedua, “o” sebagai ungkapan yang ‘mempertanyakan’ (menggugat), menegur, ‘menyapa’ atau mengadu (minta petunjuk). Pada bagian ini pengucapan kata “O” dilakukan dengan nada yang memperpanjang bunyi “o” menjadi “ooo…” yang sebenarnya juga berarti “wahai…”. Teguran ini, mungkin, ditujukan sang sajakis untuk menarik kembali nurani pembaca (baca: pelaku pertempuran dengan memakai mesiu) dari ketenggelamannya dalam keangkuhan tabiat manusia. Kata “O, langit” itu terasa mendalam jika dilakukan penekanan nada pada kata “O” dan “langit”. Dari imajinasi saya pun saya telah bisa merasakan kedalaman kata “O” tersebut.
***

Pada pengertian lain, saya menduga bahwa kata “O” pun berawal dari kata “Oh”. Kata “Oh”, menurut Poerwadarminta, merupakan kata seru yang menyatakan kecewa, menjadi yakin, dan sebagainya. Dengan kata lain, kata “Oh” merupakan suatu ungkapan reaktif untuk menyatakan: (1) keheranan terhadap kepada sesuatu yang di luar dugaan, (2) respon tersadar, semakin atau menjadi yakin/percaya, dan (3) kekecewaan atas sebuah ironi.

Satu masa, saat membaca kata “O” demi “O” itu seketika saya teringat pada kumpulan puisi O dan O Amuk Kapak-nya Sutardji Calzoum Bachri (SCB). “….oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O…” (Sajak “O”-nya SCB). Yang lantas menyeruak dalam benak saya adalah kemiripan pada pengulangan kata “O” antara sajak “O” SCB dan sajak-sajak NS. Barangkali hanya suatu kebetulan belaka.

Sudah barang tentu, membaca teks sajak bukanlah sebatas melihat huruf demi huruf, lalu selesai dan tutup buku habis perkara. Jelas tidak sesederhana dan sekelebat begitu saja. Kendati saya tidak terlalu menggandrungi gegap-gempita ataupun kekhusukan jagad kepenyairan, saya mencoba menikmati sajak-sajak NS itu sembari membayangkan seolah-olah Sang Penyair Besoar (julukan saya untuk sajakis NS) itu tengah membacanya di panggung, di hadapan saya dan di hadapan jibunan orang.

Maka, dari imajinasi rekaan tersebut saya berpendapat bahwa kata “O” akan lebih menarik, hidup dan kuat maknanya apabila dibacakan langsung (dengan suara); oleh sang sajakis sendiri ataupun oleh pembaca sajak yang tepat. Sebab, dengan intonasi yang tepat, kata “O” bukan sekadar kata dalam satu persepsi, melainkan berefek pada persepsi-persepsi lainnya sehingga menimbulkan efek kesan yang bagus, hidup, magis. Paduan antara kata dan suara serta dibacakan dengan nada-nada yang berbeda untuk kata “O” yang sama, bagi saya pribadi, akan semakin memperkaya imajinasi pembaca, terlebih jika pembacaannya di panggung dilakukan lebih dari dua orang dengan nada berbeda untuk satu judul sajak.

Di sinilah, melalui kata “O” dalam sajak-sajaknya, sang sajakis seakan-akan tengah membuat atau menghidupkan semacam dialog entah kepada siapa saja–termasuk pada dirinya sendiri (O diri!). Kata “O” berpotensi menghidupkan sajak-sajak tersebut dari jebakan kuburan tekstual/aksara sunyi. Di samping itu, dia pun tampaknya sengaja menawarkan beragam persepsi terhadap satu sajak tekstual; apakah suatu ungkapan rasa heran, rasa kaget, rasa kian percaya/yakin, ataukah rasa kecewa atas ironi. Tinggal bagaimana para pembaca kreatif membacakannya dengan suara masing-masing, atau sekadar mengimajinasikannya. O Sedap sekali!***

Popular posts from this blog

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah Oleh: Sihar Ramses Simatupang Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan. Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir Hamzah bersama Pujangga Baru-nya dari pusaran kesusastraan Melayu, Chairil Anwar yang mendobrak tradisi dan mengadopsi puisi barat, Rendra yang melaju pada realitas sosial, Tardji yang mengolah kesadaran lama tentang mantra hingga gaya pecahan kata dengan konsep Posmo dari seorang Afrizal ...

Nanang Suryadi: Arthur Rimbaud Nusantara!

Nanang Suryadi: Arthur Rimbaud Nusantara ! Oleh: A. Kohar Ibrahim Di tengah malam sunyi sepi timbul kegairahan, sekalipun di luar langit hitam kelabu keputihan cahaya bumi berselimut salju. Dingin sekali. Selagi dimamah rindu pada Srikandi penggenggam pena di Nusantara, membuka jendela kaca ordina, kudapati sepucuk surat elektronika berisi undangan yang segera menghangati pikiran dan hati. Maka aku sambut senang undangan itu, apalagi yang datang dari seorang penyair bernama Nanang Suryadi. Untuk menikmati sajiannya berupa kumpulan puisi (kupuisi) berjudul Telah Dialamatkan padamu terbitan Dewata Publishing akhir tahun lalu. Kupuisi yang sampulnya indah berupa komposisi paduan yang kontras clear-obscur (gelap-terang), lembut tegar, berat ringan itu memang membikin orang seperti saya segera merasa tergelitik. Senang dalam menikmatinya. Dari bagian pertama sampai yang akhir. Suatu paduan yang hamornis lagi logis isinya aneka ragam warna dengan segala nuansa perasaan dan pemikira...

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan Oleh: Ben Abel sajak-sajak nanang adalah sajak bujangan ; sebagai pembaca [[[[[[[[bener nih ?]]]]]]] aku jarang sekali menemukan kata mereka, tetapi aku kau dan kita ; Jadi bila kesunyian lagi menggugu, puncak lagu yang terbayang "tinggal jerit sendiri" dan merah api melibat-libat semena ; Itu lantaran nanang suka banget memakai kata CAHAYA, API, TERANG, atau serbaneka kata yang membuat pembacanya berasosiasi tentang kata2 itu ; semisal [pintas lalu] : SKETSA DI HALAMAN BUKU, dalam sajak ini tak ada kata api , terang maupun cahaya TAPI : "tubuh telanjang, jongkok, kepala bertanduk [[[[katanya]]]], sketsa di tangan perempuan demikiankah cinta ayu, puisi yang tak kunjung dipahami, selain dongeng tentang hari-hari entah, yang tak perlu ditanyakan" ---- ya, kepala bertanduk tak mungkin bikin pembaca mengasosiasikannya pada lele maupun banteng segi tiga, apalagi PDI-suryadi [kebetulan bukan bapaknya nanang soeryadi]; Toh, j...