Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah
Oleh: Sihar Ramses Simatupang
Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan.
Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir Hamzah bersama Pujangga Baru-nya dari pusaran kesusastraan Melayu, Chairil Anwar yang mendobrak tradisi dan mengadopsi puisi barat, Rendra yang melaju pada realitas sosial, Tardji yang mengolah kesadaran lama tentang mantra hingga gaya pecahan kata dengan konsep Posmo dari seorang Afrizal Malna. Ah, uniknya pernik perjuangan kepenyairan di Indonesia.
Karena itu, wajar saja, di tengah puluhan para penyair simbolik kebangsaan–belum lagi dihitung dengan keberadaan penyair dunia Octavio Paz dan Pablo Neruda–para penyair saat ini tak hanya berpuisi, tapi juga ditanyakan kebaruan konsep-konsepnya. ”Puisi-puisimu pasti bagus Nang. Tinggal mencari yang baru dalam sejarah sebuah karya,” ujar Maman S. Mahayana, seorang dosen dan pengamat sastra.
Tapi benarkah itu? Apakah penyair saat ini tak punya diksi dan konsep yang baru? Mengutip kalimat Maman, puisi Nanang jelas berkualitas. Hanya, bayang-bayang masa lalu seorang Sapardi Joko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, barangkali juga Goenawan Mohamad atau Subagyo Sastrowardoyo masih menghantui. Hanya sekarang yang jadi pertanyaan, sungguhkah publik telah meneliti karya para penyair saat ini. Nanang Suryadi hanyalah salah satu di antara mereka (tak perlu disebut karena begitu banyak saat ini).
Namun sudah seharusnya para pengamat dan pengkritik sastra memperhatian mereka secara cermat. Ataukah semua bayang-bayang itu telah sedemikian kukuhnya dalam jagat puisi Indonesia sehingga tak ada lagi celah untuk sebuah pembelaan pada kekukuhan tonggak puisi baru? Termasuk buat seorang Nanang Suryadi yang jelas berbeda juga diksinya, penyataan ini hanya bisa dilontarkan oleh seorang pengamat puisi yang lama memperhatikan karya seorang penyair. Nanang juga punya keunikan. Tinggal sekarang, pembelaannya adalah, hutan rimba kata apakah yang telah ditanamkan dan ditumbuh suburkan oleh seorang Nanang Suryadi dalam bukunya Telah Dialamatkan Padamu. Seperti pendapat penyair dan redaksi Ahmadun Yosi Herfanda tentang religiositas karya Nanang, ada celah lainnya yang kerap dimuntahkan penyair ini pada lirik-lirik baitnya. Kata-kata yang kesepian, namun senantiasa mengalir jernih untuk bersuara tentang cinta. Tak ada benturan yang membabi-buta, lihat saja pada sajaknya ini:
Sebagai cakrawala harapku, lengkung alis matamu/Binar mata, berkas bintang-bintang mencahaya, demikian rindu. (Yang Menyimpan Rindu, 13)
Juga pada larik puisi ini:
Bunga ditanganmu berapa warna, dirangkai sebagai kenang, kepada siapa keharuman disampaikan, ah engkaulah bunga, merangkai hidupmu sendiri, merah putih ungu hitam, engkaulah kenang itu (pada sajak Seorang Yang Merangkai Bunga, 39).
Adakah kesepian yang begitu tabah, menahan-nahan rindu sendiri untuk “hanya” dialirkan dalam bahasa yang sabar dan indah. Diksi yang tak merusak kebeningan air telaga kata. Tak perlu ada kalimat “mampuslah aku dalam kesepian”, Nanang berhasil mengemas kesunyian dan rasa ngelangutnya dalam keindahan. Inilah perbedaannya. Nanang bukan seorang penyair yang di antara penyair sebelum, yang digandoli berbagai teori macam-macam tentang filsafat dan kesusastraan. Hitungan dalam rasa dan pikirannya hanyalah kalimat yang indah tentang puisi, termasuk cara pengucapan, patahan kalimat hingga keindahan kata. Diperlukan suatu alasan, saat dia mencoba melihat dunia lain dari kacamata rasa dan pikirannya. Dengan cermat, nyatanya dia tetap mempertahankan kepiawaiannya berhitung bunyi dan ephoni. Tetap dengan tradisi seorang Nanang Suryadi:
Tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi/sulapan, dimana engkau dengan matnra: izukalizu tahi tahu tahi tahu/lonte bau di ubun ubun kluk!
Tapi nanti dulu, Nanang memang penyair yang suka iseng sendiri, mengutak-atik kekhasan diksi puisi penyair lain, untuk sengaja menyapa penyair lain. Bukan cuma Tardji–kalau puisi tadi dibilang bergaya Tardji–siapa saja penyair karibnya yang tak diisenginya dengan “meminjam” (bukan merebut) diksi dan metafora para penyair itu. Tentu saja dia telah membubuhkan nama penyair itu. Bisa jadi, justru itulah gayanya. Dalam karyanya, dia mau berlelah lelah memperhatikan setiap simbol, diksi hingga rima atau loncatan bunyi.
Kembali pada suasana puitiknya, karya-karyanya rata-rata berisi cinta kesepian dari sesuatu yang masih jauh. Bisa rindu pada Tuhan, kepada ibu, atau kepada pasangan kodrati: seorang perempuan yang dicintai. Semua dihadapi dengan bijaksana, tak ada kalimat yang pecah, kesemuanya tetap terjaga.
Demikianlah, betapa dia mencoba berarif-arif ria dalam menghadapi tentang harga sebuah kesepian. Pada kata, semua rindunya di alamatkan. Lihat saja pada sepi yang menggigit di puisinya yang berjudul Jam Yang Menyerpih (hal.36) ini:
Sebagai harap yang pecah berderai, jarum jam menyerpih, luruh dari jemarimu, mungkin kan diingat lagi, sebuah ilusi, impian yang berloncatan, dari matamu.
Oleh: Sihar Ramses Simatupang
Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan.
Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir Hamzah bersama Pujangga Baru-nya dari pusaran kesusastraan Melayu, Chairil Anwar yang mendobrak tradisi dan mengadopsi puisi barat, Rendra yang melaju pada realitas sosial, Tardji yang mengolah kesadaran lama tentang mantra hingga gaya pecahan kata dengan konsep Posmo dari seorang Afrizal Malna. Ah, uniknya pernik perjuangan kepenyairan di Indonesia.
Karena itu, wajar saja, di tengah puluhan para penyair simbolik kebangsaan–belum lagi dihitung dengan keberadaan penyair dunia Octavio Paz dan Pablo Neruda–para penyair saat ini tak hanya berpuisi, tapi juga ditanyakan kebaruan konsep-konsepnya. ”Puisi-puisimu pasti bagus Nang. Tinggal mencari yang baru dalam sejarah sebuah karya,” ujar Maman S. Mahayana, seorang dosen dan pengamat sastra.
Tapi benarkah itu? Apakah penyair saat ini tak punya diksi dan konsep yang baru? Mengutip kalimat Maman, puisi Nanang jelas berkualitas. Hanya, bayang-bayang masa lalu seorang Sapardi Joko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, barangkali juga Goenawan Mohamad atau Subagyo Sastrowardoyo masih menghantui. Hanya sekarang yang jadi pertanyaan, sungguhkah publik telah meneliti karya para penyair saat ini. Nanang Suryadi hanyalah salah satu di antara mereka (tak perlu disebut karena begitu banyak saat ini).
Namun sudah seharusnya para pengamat dan pengkritik sastra memperhatian mereka secara cermat. Ataukah semua bayang-bayang itu telah sedemikian kukuhnya dalam jagat puisi Indonesia sehingga tak ada lagi celah untuk sebuah pembelaan pada kekukuhan tonggak puisi baru? Termasuk buat seorang Nanang Suryadi yang jelas berbeda juga diksinya, penyataan ini hanya bisa dilontarkan oleh seorang pengamat puisi yang lama memperhatikan karya seorang penyair. Nanang juga punya keunikan. Tinggal sekarang, pembelaannya adalah, hutan rimba kata apakah yang telah ditanamkan dan ditumbuh suburkan oleh seorang Nanang Suryadi dalam bukunya Telah Dialamatkan Padamu. Seperti pendapat penyair dan redaksi Ahmadun Yosi Herfanda tentang religiositas karya Nanang, ada celah lainnya yang kerap dimuntahkan penyair ini pada lirik-lirik baitnya. Kata-kata yang kesepian, namun senantiasa mengalir jernih untuk bersuara tentang cinta. Tak ada benturan yang membabi-buta, lihat saja pada sajaknya ini:
Sebagai cakrawala harapku, lengkung alis matamu/Binar mata, berkas bintang-bintang mencahaya, demikian rindu. (Yang Menyimpan Rindu, 13)
Juga pada larik puisi ini:
Bunga ditanganmu berapa warna, dirangkai sebagai kenang, kepada siapa keharuman disampaikan, ah engkaulah bunga, merangkai hidupmu sendiri, merah putih ungu hitam, engkaulah kenang itu (pada sajak Seorang Yang Merangkai Bunga, 39).
Adakah kesepian yang begitu tabah, menahan-nahan rindu sendiri untuk “hanya” dialirkan dalam bahasa yang sabar dan indah. Diksi yang tak merusak kebeningan air telaga kata. Tak perlu ada kalimat “mampuslah aku dalam kesepian”, Nanang berhasil mengemas kesunyian dan rasa ngelangutnya dalam keindahan. Inilah perbedaannya. Nanang bukan seorang penyair yang di antara penyair sebelum, yang digandoli berbagai teori macam-macam tentang filsafat dan kesusastraan. Hitungan dalam rasa dan pikirannya hanyalah kalimat yang indah tentang puisi, termasuk cara pengucapan, patahan kalimat hingga keindahan kata. Diperlukan suatu alasan, saat dia mencoba melihat dunia lain dari kacamata rasa dan pikirannya. Dengan cermat, nyatanya dia tetap mempertahankan kepiawaiannya berhitung bunyi dan ephoni. Tetap dengan tradisi seorang Nanang Suryadi:
Tapi bukan kelinci ajaib yang melompat ke lobang hitam atau topi/sulapan, dimana engkau dengan matnra: izukalizu tahi tahu tahi tahu/lonte bau di ubun ubun kluk!
Tapi nanti dulu, Nanang memang penyair yang suka iseng sendiri, mengutak-atik kekhasan diksi puisi penyair lain, untuk sengaja menyapa penyair lain. Bukan cuma Tardji–kalau puisi tadi dibilang bergaya Tardji–siapa saja penyair karibnya yang tak diisenginya dengan “meminjam” (bukan merebut) diksi dan metafora para penyair itu. Tentu saja dia telah membubuhkan nama penyair itu. Bisa jadi, justru itulah gayanya. Dalam karyanya, dia mau berlelah lelah memperhatikan setiap simbol, diksi hingga rima atau loncatan bunyi.
Kembali pada suasana puitiknya, karya-karyanya rata-rata berisi cinta kesepian dari sesuatu yang masih jauh. Bisa rindu pada Tuhan, kepada ibu, atau kepada pasangan kodrati: seorang perempuan yang dicintai. Semua dihadapi dengan bijaksana, tak ada kalimat yang pecah, kesemuanya tetap terjaga.
Demikianlah, betapa dia mencoba berarif-arif ria dalam menghadapi tentang harga sebuah kesepian. Pada kata, semua rindunya di alamatkan. Lihat saja pada sepi yang menggigit di puisinya yang berjudul Jam Yang Menyerpih (hal.36) ini:
Sebagai harap yang pecah berderai, jarum jam menyerpih, luruh dari jemarimu, mungkin kan diingat lagi, sebuah ilusi, impian yang berloncatan, dari matamu.