Skip to main content

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan

Sajak-Sajak Nanang adalah Sajak Bujangan

Oleh: Ben Abel

sajak-sajak nanang adalah sajak bujangan ; sebagai pembaca [[[[[[[[bener nih ?]]]]]]] aku jarang sekali menemukan kata mereka, tetapi aku kau dan kita ; Jadi bila kesunyian lagi menggugu, puncak lagu yang terbayang "tinggal jerit sendiri" dan merah api melibat-libat semena ; Itu lantaran nanang suka banget memakai kata CAHAYA, API, TERANG, atau serbaneka kata yang membuat pembacanya berasosiasi tentang kata2 itu ; semisal [pintas lalu] : SKETSA DI HALAMAN BUKU, dalam sajak ini tak ada kata api , terang maupun cahaya TAPI : "tubuh telanjang, jongkok, kepala bertanduk [[[[katanya]]]], sketsa di tangan perempuan demikiankah cinta ayu, puisi yang tak kunjung dipahami, selain dongeng tentang hari-hari entah, yang tak perlu ditanyakan" ---- ya, kepala bertanduk tak mungkin bikin pembaca mengasosiasikannya pada lele maupun banteng segi tiga, apalagi PDI-suryadi [kebetulan bukan bapaknya nanang soeryadi]; Toh, jelas maksudnya bayangan setan penjaga kawah candradimuka tempat api-bakar2 jiwa orang berdosa yang tidak mencintai neraka, dan maunya enak hidup disurga doang ---- tetangganya. Setan yang selalu digambarkan sebagai lelaki berkepala hitam dan bertanduk [[[[[[[ mana ada setan betina, kalo pun ada bukan jadi penjaga neraka, paling banter jadi kuntilanak - jadi alam baqa tuh ada masalah gender juga rupannya ]]]]]]]] .... sekali lagi nanang menegaskan kebujangan ' lha apa kebujangan sama seperti kesendirian, atau justru ramai dalam imagined communication maupun imagined communalism sekalian imagined communities-nya ..... Sekalian contoh lagi ; RITUS CINTA "kau siapkan artefak-artefak, aikon, tanda, mungkin bunga, merah warnanya, coklat berpita, tanda cinta seperti ritus di hari kudus. seperti tak ada esok dan hari kemarin padahal setiap detik, kurasa cinta menyala dalam dada" --- Kata merah, kudus, menyala .... semua bikin pembaca ingat cahaya .... dan serasa sendiri lagi, bujang membujang ..... baca sajak, selalu asyik kalo bisa dibaca dengan bersuara .... tapi sajak nanang terkadang ada yang
terasa hanya dimaksud untuk berbisik [[[[aku tau ini salah]]]]], aku masih mencari geneologi [wuih! istilahe] kepenyairan si nanang, umpamanya [seandai saja] ciri banten, sunda, jawa, indonesia, bukan sekedar warna sanggar2 dan kelompok diskusi maupun nanang yang berkelana dan melintang-lintang dari jatim sampai ujung kulon; tapi belang bulan, kecongkakan matahari, dan kerling bintang maupun kerundungan tawon dsbnya ..... maka itu sekian sekedar kata-hatiku ..... salut nang!

Malin Deman
nama samaranku di zaman Madjapahit, sesuai tuturan si hAjo Buyung Blando


Popular posts from this blog

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah Oleh: Sihar Ramses Simatupang Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan. Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir Hamzah bersama Pujangga Baru-nya dari pusaran kesusastraan Melayu, Chairil Anwar yang mendobrak tradisi dan mengadopsi puisi barat, Rendra yang melaju pada realitas sosial, Tardji yang mengolah kesadaran lama tentang mantra hingga gaya pecahan kata dengan konsep Posmo dari seorang Afrizal ...

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah

Membaca Nanang yang Selalu Gelisah Oleh: Alex R. Nainggolan Nanang Suryadi barangkali salah seorang penyair yang produktif di Indonesia. Bahkan, dalam salah satu proses kreatifnya yang dituturkan di situs www.cybersastra.net dipaparkan bagaimana ia harus menulis sajak, dengan kedaan apa pun. Dalam sehari, di saat sedang menggumpal penuh imaji, ia bisa menulis 4—6 sajak. Tentu, tafsiran ini berbeda bagi setiap orang. Ada yang bilang, sajak-sajak yang mengambil jeda singkat (dalam hal menyusun diksi demi diksi hanya bertautan waktu yang sedikit), maka seorang penyair akan menghasilkan sajak yang dangkal. Dalam bahasa Sutardji, tidak terlalu dalam, menandakan eksplorasi yang tidak sungguh-sungguh. Namun, ketika membaca beberapa sajak yang dikumpulkan dalam buku ini, saya jadi merenung—betapa sebuah jeda jarak yang singkat dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu juga. Sudut pandang ataupun pengangkatan tema yang ditawarkan Nanang memang lebih banyak pada kesenduan, kegetiran, ...